Begitu banyak literatur mengenai experiential learning yang dapat kita jadikan pegangan dalam perancangan program ataupun pelaksanaannya. Perkembangan keilmuan terutama dalam metoda pembelajaran telah berkembang begitu luas dan penelitian-penelitian mengenai metoda pembelajaran menjadi bahan referensi yang baik bagi semua pelaku di bidang pendidikan dan pelatihan sebagaimana layaknya para praktisi di bidang experiential learning. Experiential learning sendiri telah berevolusi dari teknik eksplorasi dan experimental di tahun 1950an and 1960an menjadi praktik umum saat ini dimanapun proses pembelajaran dilakukan.
Dalam perkembangannya banyak sekali teori mengenai karakter dari experiential learning itu sendiri. Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan teori mengenai karakter experiential learning dari Walter dan Marks[1] dimana menurut mereka experiential learning itu berjalan ketika para peserta didik terlibat secara penuh, ketika pembelajaran relevan dengan peserta, ketika secara individu dibangun rasa tanggung jawab terhadap pembelajaran pribadi masing-masing, ketika lingkungan pembelajarannya fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan seketika dari para peserta. Dari hal yang terpaparkan sebelumnya maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa karakteristik dari experiential learning adalah keterlibatan, relevan, tanggung jawab, fleksibel, dan responsif. Semua karekteristik tersebut mengacu pada satu keluaran yaitu personal growth atau pengembangan diri.
Keterlibatan adalah hasil dari keterkaitan peserta didik dengan aktifitas yang mereka lakukan, misalkan dalam belajar menjahit, peserta didik tidak mendaftarkan diri hanya untuk mengikuti pelajaran menjahit dengan cara ceramah dan membaca mengenai apa itu menjahit, mereka akan menerima materi tersebut juga akan membaca berbagai referensi mengenai menjahit, akan tetapi integrase dari pembelajaran akan terjadi hanya jika mereka melakukan atau mencoba mempraktikan apa itu menjahit, mulai dari menjahit dengan tangan hingga menjahit dengan mesin, menggambar pola, memotong kain, hingga akhirnya menjadi sebuah pakaian yang layak dipakai oleh calon pelanggan mereka. Hal ini selaras dengan apabila kita berjalan-jalan menggunakan pesawat terbang, kita akan merasa aman ketika kita mengetahui pilot yang menerbangkan pesawat tersebut sudah beratus-ratus jam berlatih menggunakan simulator dan diiringi pemahaman teori yang mumpuni.
Keterlibatan mempengaruhi perubahan perilaku dan pengembangan diri seiring dengan peningkatan keterampilan. Program Outward Bound di alam bebas menggunakan keterlibatan langsung dari peserta untuk menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk mengatasi masalah, dan kemandirian. Pembelajaran aktif yang banyak meningkatkan keterlibatan peserta dalam pembelajaran tersebut dapat meningkatkan motivasi dan penguatan diri dari peserta tersebut. Sesuai dengan pepatah dari Alfred Mercier, what we learn with pleasure, we never forget (apa yang kita pelajari dengan menyenangkan, kita tidak akan pernah lupa) dan sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin, tell me and I forget, teach me and I may remember, involve me and I learn (katakan pada saya dan saya akan lupa, ajarkan pada saya dan mungkin saya akan ingat, libatkan saya maka saya akan belajar).
Dalam kenyataannya pada masa kini, penerapan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran melalui experiential learning tidaklah dapat dikatakan pada proporsi yang ideal. Seringkali jumlah peserta didik dalam suatu kegiatan pelatihan menggunakan metodologi experiential learning terlalu banyak dan menyesuaikan dengan keinginan dari pengguna layanan atau klien. Hal ini berakibat bila tidak dilakukan dengan baik maka beberapa peserta akan tidak atau kurang terlibat dalam setiap aktifitas yang diberikan. Apabila keterlibatan peserta terhadap aktifitas pada khususnya dan pembelajaran pada umumnya minim maka impact atau hasil yang dicapai oleh program pembelajaran tersebut menjadi tidak optimal. Terkadang anggota kelompok dalam pelatihan terlalu banyak sehingga beberapa dari anggota kelompok tersebut menjadi tidak terlibat dalam aktifitas yang dilakukan, bahkan terkadang menjadi acuh dan tidak melibatkan dirinya, berfikir bahwa teman satu kelompoknya biar berupaya dan dia akan ikut menikmati keberhasilan kelompoknya. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi setiap pembuat program pembelajaran menggunakan metoda experiential learning untuk dapat dipecahkan, karena tanpa keterlibatan dalam aktivitas dapat mengakibatkan minimnya impact yang didapat oleh peserta tersebut, dan hal ini berimplikasi pada kualitas dari program.
Karakteristik kedua adalah relevansi antara program pembelajaran dan aktifitas pembelajaran yang diberikan dengan peserta didik atau tujuan dari peserta. Relevansi dengan pokok permasalahan atau topik tertentu mudah ditunjukan dengan teknik experiential learning. Berkaca pada contoh pelatihan menjahit di atas maka sudah jelas dengan memberikan pengalaman menjahit pada para peserta didik maka mereka akan lebih mudah memahami kendala-kendala yang akan mereka hadapi ketika melakukan praktik di dunia nyata. Relevansi ini dalam program experiential learning tidak hanya dengan memberikan aktifitas yang sama, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan menarik pembelajaran dari aktifitas yang memiliki hubungan pembelajaran yang sama dengan apa yang harus dipelajari oleh para peserta didik. Istilah yang sering dipergunakan adalah menarik isomorf dari suatu aktifitas untuk dapat dimetamorfkan pada kondisi yang dihadapi peserta didik dalam kesehariannya. Semakin kuat isomorf yang dilakukan maka semakin kuat juga metamorf yang dapat diberikan, dalam arti kata semakin baik dan relevan aktifitas yang diberikan maka impact nya terhadap peserta didik akan semakin optimal. Seperti apa yang diungkapkan oleh Nelson Mandela, if you talk to a man in a language he understand, that goes to his head. If you talk to him in his own language, that goes to his heart (bila kamu bebrbicara dengan seseorang menggunakan Bahasa yang dia mengerti, itu akan terserap di kepalanya. Jika kamu berbicara dengannya dengan bahasanya, itu akan terserap di hatinya).
Tantangan terbesar saat ini untuk pelaksanaan program experiential learning dengan relevansi yang kuat bagi peserta didik adalah terkadang para programmer tidak memahami benar mengenai kondisi dan tujuan dari para peserta didiknya. Terkadang program dibuat template dan diaplikasikan terhadap semua kondisi dengan harapan mendapat respon yang sama dari para peserta. Program template tersebut terkadang tidak dikaji kembali relevansinya dengan peserta, yang apabila ternyata isomorf dan metamorf yang dikembangkan tidak pas dengan kondisi peserta maka akibatnya adalah kembali kemungkinan besar impact pembelajarannya akan menjadi tidak optimal. Bahkan dalam beberapa kondisi akhirnya peserta lebih menikmati proses pembelajaran menggunakan metoda experiential learning tersebut sebagai sarana rekreasi saja tanpa ada pembelajaran dibalik semua aktifitas yang dilakukan. Tentunya ini diluar kegiatan experiential learning yang bertujuan rekreasional bagi para pesertanya.
Karakteristik ketiga adalah tanggung jawab. Experiential learning mempromosikan tanggungjawab para peserta dalam beberapa cara. Peserta didik diharuskan memilik seberapa besar energy yang diinvestasikan dan bagaimana merespon sebuah aktifitas. Respon tersebut berpengaruh langsung terhadap pilihan mereka. Jika mereka menginginkan hasil yang berbeda, maka mereka harus merespon aktifitas tersebut dengan cara yang berbeda pula. Tanggung jawab untuk mengatur perubahan-perubahan tersebut sepenuhnya tergantung pada diri mereka sendiri. Kebanyakan aktifitas experiential learning menyediakan media dan peluang para peserta untuk terlibat dalam menentukan tujuan dari proses pembelajaran, konsekwensi dari hal tersebut adalah peserta didik akan lebih berkomitmen dan mendapatkan arti yang sebenarnya dari tanggung jawab untuk keberhasilan pengalaman pembelajaran. Sharlyn Lauby mengatakan when you don’t have success with your goals, it’s you responsibility to figure out why (ketika kamu tidak mencapai tujuanmu, adalah tangung jawab kamu untuk mengetahui penyebabnya kenapa).
Tanggung jawab peserta didik dalam pembelajaran terkadang menjadi hal yang terlupakan oleh para praktisi experiential learning. Seringkali demi mencapai tujuan program, proses yang harus dilalui para peserta menjadi sedikit terlupakan. Keberhasilan pembelajaran adalah tanggung jawab bersama antara peserta didik dengan para fasilitator ataupun mentor mereka. Tanggung jawab itu secara mudah dipahami dalam proses experiential learning adalah mengontrol perilaku diri, terpercaya dalam melakukan pekerjaan yang penting, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan mengerjakan bagian atau perannya sendiri ketika bekerja dalam tim. Kurangnya tanggung jawab dalam melaksanakan aktifitas yang diberikan akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan dari pembelajaran. Rasa tanggung jawab itu sendiri akan tumbuh apabila ada keterkaitan atau relevansi program dengan diri para peserta dan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran. Carl Rogers mengatakan pembelajaran telah berhasil atau berjalan ketika para peserta melibatkan tanggungjawab dalam proses pembelajaran tersebut.
Karakteristik berikutnya adalah fleksibel. Dalam penerapannya Experiential learning berkarakter fleksibel, dimana fleksibilitas tersebut bergantung pada tiga hal pokok yaitu pengaturan baik tatacara maupun keadaan, peserta dari proses pembelajaran, dan tipe dari pengalaman pembelajaran termasuk di dalamnya kegunaan dan tujuan dari pembelajaran tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pendekatan pembelajaran experiential learning dapat digunakan untuk peserta dengan latar belakang yang berbeda. Untuk peserta dengan pengalaman yang minim, pendekatan pembelajaran dapat difokuskan pada mengembangkan pengalaman. Untuk mahasiswa pendekatan yang dapat dilakukan adalah mengaitkan pengalaman intelektual yang relevan dan perkembangan diri dengan teori dan penelitian empiris. Untuk orang dewasa dan dari latar berbeda maka pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pesan, pemahaman dan keterampilan baru bagi mereka. Lingkup kegiatan bisa didapat dari berbagi informasi dengan sederhana hingga pembelajaran keterampilan yang spesifik dalam kaitannya dengan menyelesaikan berbagai permasalahan yang peserta hadapi. Suatu hari Ignacio Estrada mengatakan if a child can’t learn the way we teach, maybe we should teach the way they learn (jika anak tidak dapat belajar apa yang kita ajarkan, mungkin kita harus mengajar dengan cara mereka belajar).
Fleksibilitas dari sebuah program experiential learning menjadi sangat luas pada masa kini. Pendekatan-pendekatan pembelajaran dengan media yang semakin beragam menjadi hal yang dapat mendorong pembelajaran melalui pengalaman. Namun tantangan saat ini mengenai fleksibilitas dari metoda experiential learning terkadang adalah perencana program terlalu fokus pada perasaan bahwa dengan fleksibilitas metodologi pembelajaran maka aktifitas yang diberikan dapat berupa apa saja dan berdasarkan pada tren yang terjadi. Fleksibilitas terkadang menjadi alasan yang pada akhirnya mengurangi pengaruh dari keterlibatan, relevansi, dan tanggung jawab dalam pelaksanaan program experiential learning. Pemahaman terhadap kebutuhan, kemampuan, dan pengalaman peserta yang menentukan mengenai pendekatan apa yang harus dilakukan terkadang terlupakan. Pendekatan yang kurang tepat inilah yang terkadang menyebabkan di akhir program pembelajaran impact yang didapatkan menjadi tidak optimal. Di lain pihak terkadang pula program yang direncanakan menjadi terlalu kaku dengan pendekatan-pendekatan teoritik yang rigid. Kekakuan pendekatan dalam pelaksanaan program experiential learning sangat mempengaruhi para peserta didik dan terkadang menyebabkan faktor-faktor seperti keterlibatan, relevansi, dan tanggung jawab menjadi hal yang sulit didapatkan. Sehingga sesuai pesan dari Tony Robbins, stay committed to your decisions, but stay flexible in your approach (tetaplah berkomitmen pada putusan yang kamu ambil, tapi tetaplah flexible pada pendekatan yang harus dilakukan).
Responsif menjadi karakteristik dari experiential learning. Proses pembelajaran harus responsif terhadap kebutuhan segera dari peserta didik. Terkadang apa yang direncanakan dalam proses pembelajaran mendapatkan kenyataan berbeda di lapangan karena pengalaman tiap orang terhadap satu aktifitas bisa berbeda dengan pengalaman orang lain sekalipun aktifitas yang diberikan sama. Perbedaan ini sangat tergantung pada kebutuhan dari peserta yang mengalami pengalaman tersebut. Terkadang perbedaan latar belakang, kultur, hingga cara pandang bisa sangat mempengaruhi terhadap pengalaman yang dialami dan pembelajaran yang didapatkan. Program pembelajaran haruslah responsif terhadap keadaan-keadaan tersebut. Program pembelajaran haruslah responsif terhadap kebutuhan peserta. Lemahnya respon terhadap hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan keterlibatan dan tanggung jawab peserta yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan program untuk mencapai impact yang diharapkan. Is not the strongest of species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change (Bukan spesien yang terkuat yang bertahan, bukan pula yang paling pandai, tapi yang paling responsif terhadap perubahan) – Charles Darwin.
Pada akhirnya tujuan dari pembelajaran adalah pengembangan diri atau personal growth. Pengembangan diri disini merujuk pada kesadaran akan diri dan perubahan kognitif, afektif, dan pola perilaku dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Experiential learning adalah salah satu metoda terbaik dalam mencapai suatu pengembangan diri. Seperti yang dikatakan oleh John Dewey, experiential learning take place when a person involve in an activity, look back and evaluate it, determine what was useful and important to remember, and use this information to perform another activity (experiential learning terjadi ketika seseorang terlibat dalam sebuah aktifitas, lalu melihat kebelakang dan mengevaluasinya, menentukan mana hal-hal yang perlu dan penting untuk diingat, dan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan aktifitas lain). Pembelajaran berupa informasi apa yang perlu dan penting untuk diingat tesebut, membuat orang melakukan perbaikan dalam menghadapi situasi yang serupa. Disitulah hasil pengembangan diri dapat terlihat.
Akhirnya semua akan kembali pada kesimpulan dari Albert Einstein yakni the only source of knowledge is experience (satu-satunya sumber dari pengetahuan adalah pengalaman).
[1] Walter, Gordon A. and Marks, Stephen E, Experiential Learning and Change, Wiley-Interscience Publication, 1981