APAKAH DESIGN THINKING SEBUAH PROGRAM EXPERIENTIAL LEARNING?

Penggalan Kisah

Apakah Design Thinking Sebuah Program Experiential Learning?

– Kisah di Tahap Empathy

– Kisah di Tahap Define

– Kisah di Tahap Ideation

– Kisah di Tahap Prototype

– Kisah di Tahap Testing

Perbandingan Experiential Learning Dan Design Thinking

 

Penulis adalah Learning Facilitator yang tergabung dalam Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI). Berawal dari menerapkan metode Experiential Learning (EL) dengan media Adventure Based & Game Based Learning. Beragam pengalaman telah dijalani dalam mendampingi peserta dengan media adventure base/ games based learning. Sejak 2015, meskipun tetap menggunakan Adventure Base (outdoor), penulis mulai mengeksplorasi keilmuan lain yang biasa di berikan di Indoor training, salah satunya Design Thinking.

Penulis mengenal Design Thinking di program Innovation Bootcamp yang di-delivery oleh CIAS (Corporate Innovation Asia). CIAS adalah konsultan yang berfokus membantu perusahaan melakukan Inovasi (Corporate Innovation). Setelah sekian banyak mendampingi peserta Innovation Bootcamp dengan Design Thinking, pada artikel ini penulis akan bercerita mengenai dinamika yang di alami peserta ketika menerapkan proses Design Thining di Innovation Bootcamp, bagaimana respon peserta? apa kesulitan yang dialami peserta, dan bagaimana peran fasilitator?

Karena penulis lebih dahulu kenal metode Experiential Learning dibanding Design Thinking. Maka dari artikel ini, penulis ingin menggambarkan relasi antara Design Thinking dengan Experiential Learning.

Mari kita awali dengan apa itu Design Thinking?

Design Thinking adalah sebuah cara memecahkan masalah secara kreatif. Definisi Design Thinking menurut Tim Brown adalah a human-centered approach to innovation that draws from the designer’s toolkit to integrate the needs of people, the possibilities of technology, and the requirements for business success”. Tim Brown adalah Executive Chair of IDEO yang mempopulerkan Design Thinking. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa Design Thinking berfokus pada apa yang diinginkan dari sudut pandang manusia (customer/pelanggan) dengan apa yang layak secara teknologi dan layak secara ekonomi. Irisan 3 elemen ini bisa di disebut Innovation Sweet Spot.

Innovation

 

Innovation Sweet Spot

 

Terdapat 5 tahap di Design Thinking yaitu Empathy, Define, Ideation, Prorotype dan Testing, namun 5 tahap ini tidak mesti dilakukan berurutan. Apabila ada proses yang butuh iterasi, maka proses bisa kembali ke tahap sebelumnya.

5 Tahap Design Thinking

Saya tidak tahu persisnya bagaimana anda bisa merasakan keunggulan penerapan Design Thinking. Namun berdasarkan pengalaman saya mendampingi peserta, keunggulan Design Thinking adalah cepat mendapatkan konfirmasi dari customer; apakah customer akan menggunakan solusi kita atau tidak. Keunggulan lain juga cepat bagi peserta membuat keputusan, mana solusi yang “high Impact Easiest to do” (berdampak besar dan paling mudah/cepat) untuk di berikan ke customer. Pun terjadi kesalahan dalam merumuskan ide solusi, peserta bisa segera kroscek pada tahapan Design Thinking mana yang belum tepat. Cepat mengetahui kesalahan, cepat pula kita segera melakukan iterasi. Keunggulan lainnya, peserta akan di ajak untuk menggunakan cara berfikir Divergent & Convergent ketika melewati 5 tahap Design Thinking.

Convergene Divergene

Diverge – Converge

Dalam artikel ini, penulis menggunakan istilah customer, bisa customer internal ataupun customer external. Bisa untuk menyatakan calon pelanggan ataupun orang yang memang sudah menjadi pelanggan dari perusahaan. Istilah peserta ditujukan untuk orang yang mengikuti Innovation Bootcamp. Peserta merupakan utusan dari perusahaan.

Konsep Design Thinking dapat diterapkan pada berbagai jenis industry. Baik Anda bekerja di bisnis, pemerintahan, pendidikan, atau organisasi nirlaba. Keberadaan Innovation Bootcamp ini muncul karena adanya kesadaran dari perusahaan untuk melakukan inovasi, tetapi terkendala karena karyawan bingung terkait inovasi apa yang mesti di lakukan sementara saat ini sudah banyak banget ide inovasi. Permasalahan yang muncul biasanya adalah sulitnya merumuskan ide inovasi yang tepat. Pun ada ide inovasi, perlu sebuah pengalaman bagaimana tahapan melakukan inovasi yang efektif, sehingga ide inovasi ini mudah untuk mendapatkan dukungan dari pimpinan.

Bagaimana ilustrasi dari dinamika peserta ketika mengikuti tahapan Design Thinking, berikut saya akan berbagi cerita dari pengalaman pendampingan.

Empathy

Tahap pertama Design Thinking adalah Empathy. Empathy adalah tahap dimana kita diajak untuk mengambil posisi sebagai customer, guna melihat dari perspektifnya sehingga bisa memahami masalah dan apa kebutuhan yang paling esensi. Empathy bisa dilakukan menggunakan metode wawancara, observasi atau immerse. Pada tahap empati ini peserta selalu diingatkan oleh Coach dari CIAS salah satunya Dr. Indrawan Nugroho, agar “jangan merasa tahu apa yang dibutuhkan customer sebelum anda melakukan empathy”. Bahkan statement extreme-nya adalah “haram untuk membahas solusi” ketika masih di tahap empathy. Dalam tahap ini, kita hadir sebagai orang yang ingin tahu.

Pada tahap Empathy, peserta di ajak untuk melakukan Customer Discovery dengan kaidah dan aturan yang sudah di rancang sehingga bisa di kenali apa hal yang “paling menjadi masalah” bagi customer dan ia membutuhkan solusi tersebut bahkan siap untuk mengeluarkan upaya (biaya, waktu & tenaga) agar mendapatkan solusi tersebut.

Pengalaman penulis ketika pendampingan peserta pelatihan adalah seringkali peserta kurang tepat dalam melakukan Customer Discovery. Beberapa peserta merasa, “Wah, dengan dibatasi topik  begini, ide-ide solusinya bisa jadi terlalu sempit dong.” Terkadang peserta melakukan Customer Discovery tetapi sudah membahas solusi. Dan sering juga peserta tidak spesifik menentukan customer. Misal Customer-nya adalah guru, hal itu masih perlu dibuat spesifikasinya, misalnya apakah guru tingkat PAUD, SD, SMP atau SMU? Guru yang baru bekerja atau guru yang senior? Guru laki-laki atau guru perempuan. Guru mata pelajaran apa? Guru tetap atau Guru Honor?

Pada tahap Empathy, kita mengawali dengan cara berfikir Divergent. Berawal dari hal spesifik menuju hal yang lebih luas. Setelah kita lakukan discovery dan  mendapatkan beragam informasi dari beberapa customer, kita kemudian melakukan prioritas sehingga ditemui titik fokus kebutuhan customer.

Fasilitator mesti jeli dalam mendampingi dan memberikan pemahaman kepada peserta agar bisa mengikuti ritme Innovation Bootcamp. Tahap empathy merupakan fase krusial bagi kesuksesan pelatihan karena tidak mudah bagi peserta untuk mempercayai dan menggunakan sebuah metode baru yang belum ia lihat bukti suksesnya. Biasanya peserta masih terbawa mindset lama yaitu inovasi itu langsung cari solusi. Kondisi akan terjawab apabila peserta mengikuti tahapan Design Thinking secara utuh dan melihat hasilnya. Diakhir pelatihan biasanya mereka mengakui, “Pada awalnya ragu apakah Design Thinking ini memberikan solusi strategis atau terlalu sempit”. Untuk itu sering kali isu Open Mind menjadi peringatan awal bagi peserta.

Berikut ini adalah salah satu insight dari peserta terkait Customer Discovery: “Kita mesti banyak listen to understand bukan listen to answer, memahami problem dan customer.”

Jika dalam Experiential Learning menggunakan simulasi terstruktur (contoh ; Games) dalam proses pembelajaran, maka Discovery Customer juga merupakan sebuah simulasi terstruktur karena ada target hasil, kaidah Discovery, batas waktu, dan peserta aktif melakukannya.

Define

Hasil empathy bisa memberikan kesimpulan mana yang menjadi titik fokus kebutuhan peserta. Titik fokus tersebut dijadikan Problem statement. Penetapan Problem Statemen ini adalah tahap Define. Disepakati 1 definisi masalah agar memiliki 1 pemahaman yang sama atas kebutuhan customer. Artinya, kita menggunakan cara berfikir Convergent. Kenapa cara berfikir Convergent ? Karena dari banyak aspek masalah yang dikeluhkan Customer, ataupun sekian banyak harapan yang di inginkan customer, kita menentukan 1 hal prioritas yang paling dibutuhkan customer.

Tahap Define adalah mendefinisikan kebutuhan yang paling mendasar, spesifik, tunggal dan memberikan manfaat bagi customer. Dalam membuat define yang tepat, kita perlu melihat dari irisan 3 variable yaitu Most Problematic, Economical Viable, dan Capabilities to implement.

Kenapa tahap Define penting? agar ketika masuk pada tahap selanjutnya, yaitu Ideation, ketika semua peserta akan mengembangkan ide-ide kreatifnya tetapi menggunakan pijakan definisi masalah yang sama. Sehingga solusinya akan memiliki muara yang sama.

Ketika Define telah di tetapkan oleh peserta, biasanya mereka baru menyadari bahwa  “Untuk menemukan solusi, penetapan masalah harus dilakukan dengan detail banget agar mendapatkan hasil yang maksimal,” ini adalah salah satu insight dari peserta.

Ideation

Ini adalah tahap yang seru abieess. Dalam tahap ini peserta akan mengeksplorasi ide-ide out of the box. Aktivasi otak kanan semakin di-stretch karena peserta diminta untuk menggambar, bukan menulis secara sistematis. Eksplorasi ide dibatasi waktu. Setiap usai eksplorasi idea, peserta diminta untuk sharing dan yang lain melakukan observasi dan refleksi atas pengalaman eksplorasi ide rekannya.

Terdapat beberapa aktivitas dalam tahap ideation. Pertama berawal dari explorasi solusi yang sudah ada atas masalah yang dialami customer, lalu dilakukan “Stretching Crazy Idea”, lalu di saring menggunakan diagram high impact easiest to do, kemudian melakukan sketch solution, dan terakhir Final Solution. Dengan melewati tahap ini, maka eksplorasi semua ide akan berakhir pada 1 ide solusi. Ide solusi ini berwujud dalam bentuk Sketch bukan kalimat terstruktur. Ide solusi yang menjadi milik tim, dan semua anggota tim memiliki pemahaman yang sama akan ide tersebut.

Pada tahap Ideation ini peserta menggunakan cara berfikir divergent lalu langsung di ikuti cara berfikir convergent, karena dari 1 Define Problem dilakukan eksplorasi beragam ide yang akhirnya disepakati 1 ide solusi saja.

Tahap ini banyak menguras fikiran peserta. Biasanya ada peserta yang tidak terbiasa membuat skets namun pada fase ini mereka justru dituntut menuangkan ide solusi dalam bentuk skets. Biasanya jika merumuskan ide butuh waktu hingga 1 minggu dan diskusi berkembang luas, tetapi disini tidak lebih dari 3 jam, peserta sudah harus hadir dengan 1 ide solusi yang disepakati bersama. Biasanya menurut peserta, pencarian ide dilakukan dengan suasana santai agar idenya cemerlang, tetapi justru dengan dibatasi waktu, peserta ternyata bisa hadir dengan beragam ide. Peserta diajak mencoba hal-hal di luar kebiasaan mereka (out of routine).

Berikut beberapa insight dari peserta.

“Proses Stretching Crazy Idea, Solution gallery banyak memunculkan ide-ide yang sebelumnya belum terfikirkan.”

“Ideation ternyata dapat mudah dilakukan dengan mencampur metode individual dan kelompok (hybrid).”

Prototype

Prototype merupakan sebuah tahap dari ide solusi berupa skets lalu dibuat menjadi prototype (purwarupa) yang bisa dilihat, dirasa, dan dicoba wujud 3 dimensinya. Bisa dicoba alur prosesnya apabila idenya adalah proses. Bisa dipindah posisi bagian dari prototype apabila ia berupa bangunan. Apabila idenya bagan proses, maka perlu dibuat bangun modelnya, sejak awal hingga akhir proses yang akan dilalui customer. Apabila ide solusinya berupa apps, maka perlu dibuat modul dan fitur per-halamannya. Dalam hal ini bisa dibuat di kertas atau menggunakan aplikasi pembuat prototype. Agar bisa dicoba aplikasinya.

Kenapa penting untuk mewujudkan prototype? agar customer bisa mencoba langsung. Customer diberikan experience untuk mencoba ide solusi dalam bentuk prototype. Konsep prototype ini sesuai dengan pepatah kuno China, “Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya tahu dan apa yang saya lakukan saya paham.Confusius,

Ketika membuat prototype, peserta dibatasi waktu. Momen inipun menciptakan dinamika kerjasama kelompok yang ciamik agar mampu menyelesaikan prototype, agar target waktu tercapai dan target hasilpun diperoleh. Sering kali awalnya peserta merasa waktunya tidak cukup. Tetapi setelah dicoba sesuai skenario yang ada, meraka akhirnya menyadari bahwa biasanya jika waktunya lama maka justru akan habis hanya untuk diskusi tanpa aksi.

Berikut 2 sharing insight peserta pada tahap ini:

“Di keseharian pun, waktu 1 bulan belum tentu dapat menghasilkan ide inovasi hingga tahap prototype.”

“Awalnya saya merasa ragu, apakah saya bisa menghasilkan ide-ide dan mampu mengikuti innovation bootcamp ini, ternyata memang benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika semua dilakukan dengan terstruktur.”

Testing

Testing adalah momen bagi customer mencoba ide solusi melalui prototype dan melakukan validasi solusi. Setelah customer mencoba ide solusi dari prototype, lalu customer menyampaikan feedback yang harus dicatat.

Hampir setiap pengalaman mendampingi program Innovation Bootcamp, peserta melakukan selling idea di fase Testing. Padahal sejak awal, sudah diingatkan bahwa dilarang untuk melakukan selling idea, karena sesungguhnya testing bukanlah untuk meyakinkan customer bahwa ide ini hebat. Untuk menghindari hal tersebut maka peserta diminta untuk melakukan Idea Validation.

Moment testing memiliki dampak yang sangat besar untuk mengetahui apa ide solusi ini diterima atau tidak oleh customer.

Sering juga terjadi peserta justru menjadi gugup dalam melakukan proses testing ke customer karena khawatir tidak sesuai kaidah. Proses testing efektif jika dilakukan secara tim. Ada yang bertanya dan ada yang mencatat, baik komentar dari customer maupun ekspresinya ketika melakukan testing. Apakah ada ekspresi bingung, atau ekspresi tidak nyaman. Ekspresi merupakan feedback penting yang tidak terungkap dengan kata-kata.

Setelah mendapat feedback dari customer, biasanya selalu ditekankan ke peserta, bahwa mereka dilarang jatuh cinta kepada ide mereka sendiri. Pernyataan ini sering kali di ucapkan Coach Taufik. Dan jangan bangga ketika moment Testing, customer tidak memberikan feedback. Karena apabila tidak ada feedback, jangan-jangan justru ada yang salah dari ide solusi tersebut. Seandainya ada masukan, perlu dicatat, cek kembali, dan jadikan iterasi. Iterasi juga menjadi kunci keberhasilan dari ide solusi.

Bagaimana, seru bukan prosesnya? Banyak simulasi, eksplorasi, dan peserta mencoba menerapkan konsep yang ada lalu mereka bisa evaluasi seberapa baik hasil penerapan design thinkingnya.

Perbandingan Experiential Learning dan Design Thinking

Dari cerita pengalaman mendampingi peserta di atas, apakah Anda bisa melihat ada penerapan siklus Experiential Learning?Apakah ada fase Concrete Experience, Reflective Observation, Abstract Conceptualitasi & Active Experimentation?

Sejauh penulis mengalami pendampingan di Innovation Bootcamp, fase dari siklus Experiential Learning tersebut terjadi di tahapan Design Thinking. Misalnya di tahap Empathy saat peserta memiliki concret experience ketika melakukan Customer Discovery. Setelah itu mereka melakukan refleksi & observasi sehingga menjadi lebih memahami mengenai kaidah Customer Discovery dan lebih paham bagaimana memahami customer. Akhirnya mereka memiliki sebuah perluasan mindset terkait pemahaman customer, lalu ketika mencoba lagi melakukan discovery ke customer selanjutnya peserta menjadi lebih terlatih secara teknis dan lebih jeli dalam memahami hal esensi terkait kebutuhan customer.

Begitu juga dengan tahap Define, Ideation, Prototype & Testing. Dari cerita di atas, hampir sebagian besar tahapan Design Thinking dilakukan dengan simulasi. Peserta mencoba hal baru, merefleksikan proses, terbuka pemahaman baru dan aktif melakukan eksperimen. Dan salah kekuatannya adalah di akhir pelatihan peserta bisa mengukur dengan obyektif hasil kerja mereka dengen menerapkan Design Thinking

Menurut pendapat penulis, pendekatan Design Thinking adalah sebuah program Experiential Learning yang bersifat project base dan sesuai dengan kondisi pekerjaan. Peserta melakukan proses Design Thinking langsung ke real customer dan hasil inovasinya pun benar diterapkan dengan target capaian yang bisa dihitung. Selain peserta bertumbuh secara mindset, perusahaan pun ikut bertumbuh. Jadi apabila proses Design Thinking dikemas secara Experiential Learning Project Base, maka akan benar-benar memberikan dampak super bagi peserta dan perusahaan.

Dari pengalaman pendampingan di berbagai program pelatihan, Experiential Learning itu memiliki dimensi penerapan yang luas selain menciptakan pengalaman terstruktur melalui games. Experiential Learning Project Base pun mampu memberikan pengalaman terstruktur dan terukur.

Bagaimana dengan pengalaman pendampingan anda sebagai Fasel dalam program Experiential Learning? saya yakin anda pun juga memiliki ragam variasi program Experiential Learning yang berdampak, karena Experiential Learning itu bisa diterapkan dalam beragam keilmuan. Pengalaman saya yang awalnya banyak menerapkan Experiential Learning Adventure Base, alhamdulillah saat ini mengenal Design Thinking yang merupakan Experiential Learning bersifat project base. Dan semua proses pengembangan metode pelatihan tersebut semakin memperkaya pengalaman penulis sebagai FASEL.

Selamat mengembangkan program Experiential Learning dan salam bertumbuh…

 

 

Belum ada Komentar

Tinggalkan Komentar :

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Sekretariat Dewan Pengurus Pusat
Jalan Simpang Tiga Kalibata No. 01.A
Duren Tiga - Jakarta Selatan 12830 - INDONESIA
Telepon [62-21] 2208-3446
Email : [email protected], Milis AELI : [email protected].

Log in with your credentials

or    

Forgot your details?

Create Account